Skip to main content

Apakah Moodle Relevan Untuk Mahasiswa?

 

Benarkah Moodle Efektif Untuk Mahasiswa?

Moodle


Adanya pandemic telah menjadikan masyarakat Indonesia menjadi makhluk yang terkotak-kotak dengan adanya belajar di Rumah, tidak ada lagi tatap muka, tidak ada lagi sapa menyapa dalam dunia perkuliahan, kampus menjelma pekuburan yang menakutkan, hanya dihuni oleh dosen-dosen dan para penjaga kampus yang seolah burung Nazar mencari mayat.

Tahun 2021 pun juga telah tiba dan kita harus mengucapkan selamat tinggal kepada Google Classroom karena kali ini kita memiliki Moodle, yaps, Moodle adalah salah satu aplikasi yang diciptakan umat manusia untuk mempermudah pembelajaran daring agar virus Corona tidak menjangkiti hidup kita.

Namun apa Moodle benar-benar efektif dalam dunia pembelajaran saat ini? Apakah Moodle lebih baik daripada Google Classroom? Apakah Moodle relevan untuk mahasiswa? Kita memiliki banyak pertanyaan saat kampus menggunakan kebijakan ini, mengganti yang lama dengan yang baru atas dalih efektivitas dosen dan siswa.

Setidaknya ada beberapa poin yang bisa dijadikan topik pembahasan untuk Moodle, namun sebelum kita melompat kepada hal-hal tersebut, ada baiknya kita mengetahui apakah Moodle memang pro mahasiswa atau tidak.

Apa Itu Moodle?

Moodle seperti yang kita ketahui adalah salah satu platform pembelajaran yang menjadi acuan dunia pembelajaran tatap muka untuk tahun ini dan digadang-gadang menjadi salah satu platform LMS terbaik yang ada. Moodle sendiri memiliki nama panjang Modular Object-Oriented Dynamic Learning Environment atau dalam Bahasa Indonesia bisa kita katakan adalah Lingkungan Pembelajaran Dinamis Berorientasi Objek Modular.

Moodle sendiri telah digunakan oleh 252,000,00 lebih pengguna, 34,000,000 lebih kursus, 173,000 lebih situs dan 240 lebih negara di seluruh dunia. Dari hal ini kita tentu sudah mengetahui bagaimana integritas dari Moodle ini sendiri yang sampai digunakan oleh jutaan kursus di dunia.

Moodle sendiri bukanlah aplikasi baru melainkan aplikasi yang sudah dahulu ada sebelum Tik Tok merajalela. Moodle diciptakan sendiri oleh Martin Dougimas waktu menempuh pendidikan Pascasarjana di Curtin University of Technology Australia pada tahun 2002. Pada saat itu, moodle hanya mampu digunakan dalam lingkup kecil, terlebih Moodle memang lahir dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan di bidang WebCT yang ditanganinya. Namun tentu saja, Moodle semakin berkembang dengan menunjukkan fitur-fitur barunya yang mudah diterima masyarakat dan menjadi salah satu acuan media pembelajaran yang efektif pada saat pandemi ini.

Apa Moodle Relevan Untuk Mahasiswa?

Jika kita berbicara tentang Moodle, maka kita akan kembali menanyakan apakah Moodle relevan untuk mahasiswa atau tidak, selepas terjadi perbincangan antar sesama mahasiswa, rata-rata siswa sepakat bahwa Moodle tidaklah efektif untuk pembelajaran Daring, kenapa? Ada beberapa alasan mengapa Moodle tidak relevan bagi mereka.

1.      Ribet dan Rumit
 

Moodle walau dikatakan sebagai sebuah terobosan baru agar dunia pendidikan dan pengajaran semakin lebih baik, namun harus dikatakan bahwa Moodle lebih rumit dari Google Classroom karena Moodle memberikan kita banyak pilihan yang ambigu dan kadang tidak serasi. Beberapa mahasiswa mengeluhkan aplikasi Moodle karena walau absen telah dicentang, namun tetap saja absen tidak bisa terkirim dan akhirnya mahasiswa dinyatakan alpha dari kelas tersebut. Alpha memang tidak menentukan kesuksesan, namun bagaimanapun, alpha menentukan nilai dan IPK yang dapat membuat orangtua bangga.

 

2.      Kuota
 

Kembali kepada sifat dasar manusia yang selalu ingin diuntungkan, banyak yang mengatakan bahwa Moodle menghabiskan banyak kuota, mengapa demikian? Alasan utamanya karena Moodle tidak termasuk dalam paket belajar yang diberikan pemerintah kepada masyarakat, hal itu tentu saja membuat siswa paranoid akan ketidakadaan kuota karena ketidak adaan kuota dalam pembelajaran saat pandemi ini sama saja dengan bunuh diri. Namun dari beberapa tanya jawab, sebenarnya Moodle tidak menghabiskan banyak data, data akan lebih terkuras untuk membuka hal-hal menguras data itu sendiri, namun tentu saja, ketiadaan paket belajar membuat Moodle dikatakan sebagai aplikasi yang menguras kuota.

 

3.      Ambigu

 

Yang menjadi permasalahan dalam Moodle adalah keambiguisitasnya sebagai aplikasi. Moodle memang bisa dikatakan sebagai aplikasi yang efektif, namun perlu diketahui bahwa kadang aplikasi sering tidak sejalan dengan kenyataan yang ada, seperti kasus diatas, ada beberapa mata kuliah yang memiliki presensi hadir, namun ketika di klik, kita sebagai mahasiswa tidak mendapatkan feedback dan bahkan kadang absen kita tidak tercatat dan menjadi alpha.

 

4.      Tidak Selaras

 

Poin ini memang bukan salah Moodle itu sendiri namun system dan penggunanya. Dalam beberapa matkul, Moodle ada yang memiliki presensi hadir dan ada yang tidak, hal itu terkadang berefek kepada mahasiswa yang hanya mencentang namun tanpa ada berita bahwa presensi untuk juga memiliki pilihan lain, parahnya adalah hal ini seringkali terjadi, dan bahkan beberapa kali system error sehingga tugas yang seharusnya diunduh malah tidak bisa diunduh.

 

5.      Lemot

 

Sebenarnya poin ini tidak begitu kuat karena lemot tidaknya Moodle atau Google Classroom hanya tergantung dari apakah sinyal kuat atau kita memiliki data atau tidak. Dan hal ini terkadang mengesalkan untuk beberapa mahasiswa karena seringkali ketika kita ingin mengirim tugas, kelemotan yang terjadi malah membuat tugas tidak bisa terkirim karena batas waktu yang telah ditentukan.

 

Lalu Mengapa Kampus Menggunakan Moodle?

Moodle sebagai media pembelajaran yang terbaru tentu saja memiliki banyak pertimbangan sebelum digunakan sebagai media pembelajaran dalam pandemi ini, dan karena kampus yang menggunakannya, tentu hal tersebut tidaklah main-main, jadi mengapa kampus menggunakan Moodle?

1.      Lebih Efektif

 

Harus diketahui sebenarnya Moodle lebih efektif untuk kedua belah pihak, ketidak efektifan terjadi karena mahasiswa belum menyatu dengan Moodle itu sendiri. Kampus pun menggunakan hal ini karena aplikasi ini efektif untuk dosen. Kenapa? Moodle memungkinkan dosen mampu mengisi nilai secara otomatis disaat Google Classroom menempatkan dosen untuk harus membuat ulang nilai yang telah tertera. Namun yang perlu menjadi acuan disini adalah entah Google Classroom atau Moodle akan sama-sama tidak efektif bila systemnya error, sementara Moodle bila error, LMS dalam bentuk website siap untuk digunakan sebagai cadangan kedua.

 

2.      Memiliki Banyak Fitur

 

Google Classroom mungkin sederhana dan begitulah kenyataannya, namun perlu diketahui bahwa Moodle memiliki banyak fitur yang dapat memudahkan mahasiswa dan dosen untuk keberlangsungan dunia kuliah. Moodle adalah aplikasi Open Source atau aplikasi yang mudah untuk domodifikasi sesuai keinginan pengguna, dan bahkan salah satu fitur Moodle yaitu diskusi lebih efektif daripada Google Classroom, adanya kalender dan Dasbor juga salah satu fitur Moodle yang membuatnya mudah digunakan.

 

3.      Lebih Aman

 

Moodle memiliki kemanan situs yang sangat tinggi, bahkan ketika mahasiswa mengisi pendaftaran, Moodle akan langsung mengecek apakah data tersebut valid atau tidak. Keamanan data pengguna saat menggunakan Moodle tentu saja menjadi acuan mengapa dunia pendidikan menggunakan Moodle yang memang sekarang adalah LMS paling popular.

 

4.      Jumlah Pengguna

 

Moodle tidak memiliki batasan untuk penggunanya terlepas itu adalah siswa atau dosen, hal itu tentu saja akan membuat Moodle lebih efisien untuk digunakan. Sementara Google Classroom memiliki batasan, yaitu pengajar maksimum 20 orang dan anggota yang termasuk pengajar dan mahasiswa sejumlah 1000 orang. Adanya pembatasan ini tentu akan menjadi masalah bisa terus digunakan, jadi kampus tidak akan ambil pusing dengan masalah yang akan terjadi di esok hari.

 

5.      Gradebook

 

Seperti yang disinggung sebelumnya, Google Classroom masih belum mampu untuk memberikan nilai secara otomatis yang tentu saja akan membuat dosen kewalahan dengan banyaknya siswa yang harus dinilai. Namun Moodle mampu memberikan nilai secara otomatis dan dosen tentu saja dapat memeriksanya di lain hari. Tidak adanya fitur ini akan memberikan efek disadvantage kepada dosen yang akan membuat nilai secara manual dan tentu saja hal itu akan sangat-sangat merepotkan.

 

Kesimpulan:

Relevan atau tidaknya Moodle sebenarnya hanya tergantung sudut pandang dari satu pihak ke pihak yang lain, siswa dan dosen sama-sama memiliki kepentingan untuk memilih yang mana efektif dan yang mana yang tidak efektif. Namun kembali kepada kebijakan kampus, kita harus menyadari bahwa penggunaan Moodle bukan hanya untuk kepentingan sepihak semata, melainkan hal-hal yang lebih urgensi seperti keamanan, efetktivitas, dan masalah yang akan terjadi di esok hari apabila masih tetap menggunakan aplikasi sebelumnya.

Menurut kamu, Apakah Moodle Relevan Untuk Mahasiswa?


Baca Juga:



Comments

Popular posts from this blog

Kaprodi BKI Dan Panitia Penyelenggara Pemilihan HMPS Tidak Paham Regulasi

    Fakultas  D akwah dan  I lmu  K omunikasi akan melaksanakan pesta demokrasi pada tanggal 10 Januari 2024, ada 4 jurusan yang akan melaksanakan proses pemilihan yaitu KPI, PMI, BKI dan MD. Namun, pada pemilihan kali ini ada sesuatu yang berbeda terkait dengan aturan yang di tetapkan oleh salah satu jurusan melalui kepanitiaan yang di bentuk. Ke 3 jurusan yang ada melaksanakan dan menetapkan sesuai dengan aturan yang memang sudah seharusnya yaitu Parlemen, sedangkan pada salah satu jurusan melakukan nya dengan cara pemilu raya  yang mana  hal ini sangat kontroversial. Pada tanggal 9 Januari 2024 kepanitiaan dari salah satu jurusan membuat sosialisasi terkait aturan yang akan di tetapkan ; “Kami dari kepanitiaan sudah tahu bahwa sistem yang kami gunakan tidak sesuai dengan dirjen pendis sebagai memang kampus kita yang berada dalam naungan kemenag dan aturan yang kita tetapkan ,  ini sudah di sepakati bersama ketua prodi BKI” Ucap ketua panitia pemilihan jurusan BKI, yakni Fidya ayu ke

Daniel Villegas dan Kronologi Kasusnya

Kronologi Kasus Daniel Villegas  Waktu itu menunjukkan tahun 1993 pada bulan April, tepatnya di El-Paso, Texas. Masa dimana jalanan disepanjang El-Paso begitu lengang, desau udara bergerak dan membelai pori-pori empat orang yang sedang berjalan sehabis mengunjungi sebuah pesta disana. Mereka berempat adalah Bobby England, Armando Lazo, Jesse Hernandes, dan Juan Medina. Adalah sekawanan remaja yang sedang menikmati bebasnya hidup tanpa pernah menyadari bahwa itu adalah akhir dari kehidupan mereka. Keadaan masih tenang kala itu, sampai sebuah mobil mendekat perlahan dan berhenti, kemudian dari kursi belakang, seseorang menembaki keempat remaja tersebut dengan senjata api. Robert England terbunuh dengan kepala berlubang, sementara Armando Lazo berlari bersama dua lainnya sejauh 100 meter sebelum pada akhirnya terbunuh setelah ditembak di bagian paha dan di bagian perutnya. Lazo yang berusia 17 tahun ditemukan tidak bernyawa didekat sebuah rumah di pinggir jalan, tubuhnya ditemuk

Di Amerika, Kangkung sama ilegalnya seperti ganja

Sebenarnya, aku baru mengetahui hal ini. namun jujur, aku terkejut saat mengetahui fakta bahwa di Amerika , kangkung sama haramnya seperti ganja.   Hah? Yah ekspresiku juga seperti itu. Pasalnya, dikenal dengan tanaman yang friendly dan ramah lingkungan, kangkung menjadi salah satu komoditas yang diperjual belikan di Indonesia . bahkan, di Indonesia sendiri, hampir semua orang mengenalnya. kemampuan hidup bangsa mereka yang nauzubbillah  menambah kepopuleran tanaman ini, coba saja lempar batangnya ke sawah atau sungai, suatu saat nanti, kalian akan terkejut menemukan mereka sudah hidup sejahtera dan berkeluarga. namun walau begitu, di Amerika itu menjadi masalah, sebab, kangkung memiiliki sifat rakus dimana ia membutuhkan lebih banyak air daripada tanaman yang lainnya. dan parahnya lagi, kemampuan hidup mereka menjadi penyebab tertutupnya gorong-gorong dan bahkan membuat perahu tidak bisa melintas. Khususnya di Florida. Setelah searching, aku juga mendapatkan informasi bahwa, di Ameri