Skip to main content

Senyuman Ningsih

Ningsih melamun untuk beberapa menit, menatap jendela yang ia usap dengan kain selepas ia semprot menggunakan cairan pembersih kaca.

Ia menyemprot kaca itu kembali, membiarkan cairan itu mengalir kebawah lalu dengan cepat diusapnya. Membuat jendelanya bersih dan bening, seolah nyaris tanpa kaca.

Namun pada semprotan kedua dan usapan ketiga, ia melihat sebuah mobil yang berhenti tepat didepan rumah, mobil itu mewah, seperti mobil pengusaha di film-film sinetron lawas, dan memang jarang ada mobil yang berhenti di depan rumah, kecuali kalau pak Ranu memiliki rekan baru yang akan berbisnis dengannya. 

Ningsih terus menatap mobil itu sampai pintunya terbuka, memunculkan seorang pria yang menggunakan kaos abu rapi, celana jeans, dan sepatu bewarna putih.

Ia tercengang. Dirumah ini, semua orang tahu siapa dia, namanya Raihan, anak dari majikannya yang sekolah di Harvard University.  Walau ia dan Raihan tidak pernah bertatap muka, namun foto dan lukisan yang ada dirumahnya bercerita kalau lelaki itu adalah dia.

Ningsih terdiam, sementara lelaki itu berjalan dengan santai namun tegap, ia masih terdiam sembari memegang sebuah penyemprot kaca dan sebuah kain. Dan pada detik-detik takdir yang bersembunyi dibalik sebuah kebetulan, Raihan menoleh kepadanya.

Dan lelaki itu tersenyum.

Rasanya begitu dahsyat namun menenangkan, untuk detik pertama senyuman Raihan seolah membekukan bumi, detik berikutnya bumi itu meledak, Ningsih panik, menjatuhkan kedua barang di tangannya kemudian menarik gorden  cepat. Dadanya bergetar hebat, perasaaan apa ini? ia tidak mengerti. Segera ia mengambil penyemprot kaca dan kain yang terjatuh, kemudian berlari meninggalkan tempat itu.

Saat itu ia tidak mengerti, namun ada sebuah percik bara yang timbul di hatinya, sebuah cahaya yang menerangi gulita. Ia merasa tenang untuk sementara sampai ia menyadari bahwa dirinya bukan siapa-siapa. Ia hanya pembantu, budak dari pak Ranu, selain itu tidak ada.

Ningsih meletakan benda tersebut di meja, memegangi dadanya yang masih terasa hangat. Setelah ia merasa membaik,  ia beranjak kembali dan mencari Nurul untuk membantunya membersihkan kloset.

                                    ****

Saat itu hari sedang beranjak siang dan para pembantu sedang menyiapkan makanan. Dan berbicara tentang makanan, makanan di rumah ini selalu mewah dan berkualitas tinggi, ada buah-buahan, botol berisi madu, dan minyak zaitun. Ningsih sebagai pembantu hanya bisa menelan ludah melihatnya, berharap apel merah diatas nampan itu bisa menjadi miliknya.

"Raihan tampan, ya?" Nurul yang sedang memotong wortel memancing perbincangan. Namun Ningsih hanya diam dan mengulek sambal didepannya.

"andai ia meminangku...." Ratih, pembantu lain, alih-alih menjawab pertanyaan Raihan, membuat subjek baru yang langsung ditanggapi Nurul.

"yee, siapa yang mau nikah sama loe?  Raihan itu nyocoknya nikah sama gue!"

"ya elah, mimpi loe ketinggian,  Nurul. Si Raihan mana mau"

Ningsih yang diam lama-lama merasa tergganggu. Apalagi saat mereka membahas bagaimana malam pertama mereka dengan Raihan.

"tangannya yang halus akan membelai pipiku...lalu kemudian mencubit hidungku..dan kemudian bibirnya mendekat....."

"Bisakah kalian hentikan?" Ningsih merasa jengah, menatap mereka berdua dengan tajam.   "kita hanya pembantu, kita budak dan kita tidak bisa berharap banyak dari majikan kita sendiri"

"Ningsih, plis deh! Loe itu orang desa dan pembantu paling baru disini, kami diam disini bukan hanya karena gajinya tahu! tapi karena ingin lihat mas Raihan yang tampaaaan" ucap Ratih dengan manyun-manyun, membuat Ningsih jengkel.

"tapi...ya sudahlah, terserah kalian" Ningsih ingin membalas namun ia keburu muak. Ia merasa panas karena disebut orang desa, ia memang pembantu baru, namun sebutan orang desa terasa keras baginya. Ia melanjutkan mengulek sambalnya, membuang  jauh perandaiannya dengan Raihan, baginya, kisah Cinderella hanyalah dongeng, hanya cerita untuk anak-anak agar mereka percaya bahwa suatu saat nanti, ada masa dimana roda takdir berputar, mengangkat hidup yang seperti sampah menjadi berharga. Namun ia harus sadar bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi, sebab, kenyataan berkata bahwa tidak akan pernah ada waktu untuk berandai-andai. 

                                    ****

Raihan sedang menyiapkan kanvas dan kuas untuk melukis, sementara udara terasa menenangkan karena AC di kamarnya bekerja dengan baik. Ia duduk sejenak, merenung ingin melukis apa, ia telah melukis banyak hal: wanita, pemandangan, petir... namun semakin lama, ia merasa dirinya dan lukisannya hanyalah kebohongan belaka, ia pernah melukis senja yang indah, namun ia merasa senja yang ia alami di dunianya sendiri adalah sampah. Tidak banyak tentang momen keindahan senja yang bisa diingat, semua adalah ironi baginya.

Sementara ia merenung, pintu kamarnya diketuk dan ucapan salam terdengar. Raihan berdiri dan membuka pintu, ternyata seorang pembantu yang membawakannya secangkir teh dan sepiring kue bolu.

"oh, kamu pembantu tadi pagi yang...."

"tolong lupakan hal itu, tuan muda"

Raihan tersenyum dan perempuan itu menunduk malu. Raihan menyilahkan pembantu tersebut untuk meletakkan makanan di meja, sementara dirinya berdiri memperhatikannya.

"siapa namamu?"

"Ningsih, tuan muda"

"dari cara kamu berbicara, kamu dari desa, benar?"

"benar, tuan muda"

"jangan panggil aku tuan muda, panggil aku Ray saja"

"tapi..."

"itu perintah"

"baiklah, tapi saya harus segera pergi"

"tunggu sebentar!" ia menyambar tangan Ningsih dan segera digenggamnya. Jempolnya mengelus telapak tangan itu dengan lembut tapi cepat. Merasa ada syaraf yang menerima rasa sensorik itu, Ningsih menyentak tangannya dengan kasar.

"Saya memang orang desa! saya memang pembantu! namun bukan berarti anda bisa menyentuh saya semau-maunya! Saya juga masih memiliki harga diri!" suara Ningsih meninggi, lupa kalau ia hanyalah seorang pembantu.

"tangan kamu bukan tangan pembantu" ucap Raihan menghentikan langkah Ningsih yang siap beranjak.

"tangan kamu adalah tangan pelukis..."

"itu hanya masa lalu" Ningsih segera pergi meninggalkan kamar itu dengan rasa sesak di dadanya.

Sementara itu, Raihan hanya diam. Perempuan itu benar, ia tidak semestinya menyentuh apa yang seharusnya bukan menjadi miliknya. Namun sayangnya itu telah terjadi, dan ia menyesal.

Raihan menghela napas, memandang kuasnya yang masih tak tersentuh. Ia tidak tahu harus melukis apa, akhirnya, ia ambil kuas hitam dan mulai melukis perasaan hatinya.

                                     ****

Sore hari datang dengan senja yang mulai menuruni cakrawala, namun disaat langit sedang ada pada masa damainya, Nurul dan Ratih masih menanti di koridor kamar Raihan yang tidak kunjung terbuka sejak tadi siang. Mereka tentunya gundah sebab alasan pertama mereka tetap berkerja di rumah ini tidak kunjung keluar. Padahal, mereka sudah berpura-pura mondar-mandir sambil membawa kemoceng untuk membersihkan guci yang berdebu.

Namun kamar itu masih tidak bergeming. Kesunyian merayapi koridor, membelai guci dan lantai, membuat suasana menjadi membosankan.

"mas Raihan kemana sih?"

"ssst, kita terlalu dekat dengan kamarnya, sialnya, kenapa si Ningsih yang disuruh anterin mas Raihan teh, seharusnya kan gue!"

"bukan loe, tapi gue"

"sumpah deh, kita hanya ngomong sopan sama atasan"

"udah ah, diem, sopan santun hanya formalitas"

"mas Raihan pasti sedang lukis pemandangan nih"

"iya, lukisannya bagus banget ya?"

"emang loe pernah lihat?"

"Instagram, iya"

"loe follow dia?"

"iyalah, buat obat kangen gue"

"apa nama IG-nya?"

"Raihanartist"

"gila! kenapa dari kemarin loe nggak bilang-bilang?"

"nggak nanya sih"

"ssst! pintunya kebuka"

Mereka berdua segera dalam posisi bersiap-siap merekam kejadian wajah yang mereka cintai keluar dari balik pintu. Dan benar saja, Raihan keluar dengan wajahnya yang tampan dan rambut yang agak urakan. Ia menatap kearah Nurul dan Ratih yang segera berpura-pura membersihkan pajangan, namun tentu saja Raihan tahu bahwa ia sedang  diperhatikan.

Raihan menghela napas dan berbalik arah. meninggalkan harapan semu untuk Nurul dan Ratih yang masih berpura-pura membersihkan pajangan.

                                    ++++

Kala itu senja merekah di bagian barat, ada warna langit yang oranye dan bercampur dengan warna ungu-merah. Perpaduan warna itu selalu membuat Raihan merenung, alasan ia menjadi seorang pelukis.

Lalu apa alasan Ningsih menjadi pembantu?

Raihan menebak-nebak namun masih tidak mengetahuinya. Pasti ada suatu hal yang menyebabkan tangan itu berhenti melukis, sebuah trauma dari masa lalu yang tidak mampu diatasinya.

Tapi apa? bahkan ia tidak memiiki waktu untuk mencari tahu, sebab, malam ini ia harus ke bandara.  

                                     ++++

Sementara itu, Ningsih sedang menatap telapak tangannya sendiri di kamarnya. Tangan pelukisnya yang tidak pernah  lagi menyentuh kuas dan kanvas, tangan pelukisnya yang berharga....

"Ningsih" sahutan itu membuat ia segera berdiri dan keluar dari kamarnya, diluar, Nyonya Maryam menunggunya dengan tangan bersedekap.

"bersihkan kamar Raihan, ia bilang kalau kamu belum ambil nampan disana"

"ma-maaf nyonya"

"jangan ulangi lagi"

"baik"

Ningsih segera berjalan ke kamar Raihan yang sengaja tidak dikunci. ia masuk, menyalakan lampu, dan segera mengambil nampan. Ia ingin segera keluar namun kanvas yang tertutup kain itu menarik perhatiannya .

Impiannya selama ini....

Menjadi seorang pelukis....

Andai ayahnya tidak terjerumus ke meja judi, ia pasti masih memiliki rumah yang layak, sawah, dan bisa sekolah tinggi di universitas.

Namun dunia mengajarkanya untuk jangan pernah berandai-andai...

Ia segera pergi namun suara deringan handphone Raihan yang tertinggal menghentikan langkahnya. Dengan sopan, segera handphone itu diangkatnya.

"halo? ini dengan siapa? maaf, mas Raihannya sedang pergi"

"nggak, ini aku, Raihan"

Jantungnya seketika berdetak cepat, ia ingin segera menutupnya, namun Raihan segera berkata.

"buka kainnya, sekarang"

"tapi...itu bukan hak saya"

"itu perintah, Ningsih"

Ningsih terdiam, antara ragu dan takut, tangannya dengan pelan memegang kain bewarna hitam itu, kainnya halus dan perlahan kain itu dibukanya.

"itu untuk kamu..."

Dan telepon itu tertutup. meninggalkan Ningsih yang masih berdiri tanpa bisa bergerak, memandang lukisan itu dengan muka memerah.

Sungguh, Ia merasa begitu malu, ia tidak berhak mendapatan kejutan seperti ini, namun ia munafik jika berkata kalau ia merasa biasa, seolah ada ribuan kupu-kupu di dalam perutnya. Tapi pada akhirnya, ia tersenyum.

"sekarang balikkan badan, biarkan senja ini menjadi waktu aku mendengar ceritamu"

Dan senja menjadi milik mereka.

Baca juga: Aku dan Mimpiku Membuat Video

Baca juga: Perempuan-Perempuan kaca


 


 

Comments

Popular posts from this blog

Kaprodi BKI Dan Panitia Penyelenggara Pemilihan HMPS Tidak Paham Regulasi

    Fakultas  D akwah dan  I lmu  K omunikasi akan melaksanakan pesta demokrasi pada tanggal 10 Januari 2024, ada 4 jurusan yang akan melaksanakan proses pemilihan yaitu KPI, PMI, BKI dan MD. Namun, pada pemilihan kali ini ada sesuatu yang berbeda terkait dengan aturan yang di tetapkan oleh salah satu jurusan melalui kepanitiaan yang di bentuk. Ke 3 jurusan yang ada melaksanakan dan menetapkan sesuai dengan aturan yang memang sudah seharusnya yaitu Parlemen, sedangkan pada salah satu jurusan melakukan nya dengan cara pemilu raya  yang mana  hal ini sangat kontroversial. Pada tanggal 9 Januari 2024 kepanitiaan dari salah satu jurusan membuat sosialisasi terkait aturan yang akan di tetapkan ; “Kami dari kepanitiaan sudah tahu bahwa sistem yang kami gunakan tidak sesuai dengan dirjen pendis sebagai memang kampus kita yang berada dalam naungan kemenag dan aturan yang kita tetapkan ,  ini sudah di sepakati bersama ketua prodi BKI” Ucap ketua panitia pemilihan jurusan BKI, yakni Fidya ayu ke

Daniel Villegas dan Kronologi Kasusnya

Kronologi Kasus Daniel Villegas  Waktu itu menunjukkan tahun 1993 pada bulan April, tepatnya di El-Paso, Texas. Masa dimana jalanan disepanjang El-Paso begitu lengang, desau udara bergerak dan membelai pori-pori empat orang yang sedang berjalan sehabis mengunjungi sebuah pesta disana. Mereka berempat adalah Bobby England, Armando Lazo, Jesse Hernandes, dan Juan Medina. Adalah sekawanan remaja yang sedang menikmati bebasnya hidup tanpa pernah menyadari bahwa itu adalah akhir dari kehidupan mereka. Keadaan masih tenang kala itu, sampai sebuah mobil mendekat perlahan dan berhenti, kemudian dari kursi belakang, seseorang menembaki keempat remaja tersebut dengan senjata api. Robert England terbunuh dengan kepala berlubang, sementara Armando Lazo berlari bersama dua lainnya sejauh 100 meter sebelum pada akhirnya terbunuh setelah ditembak di bagian paha dan di bagian perutnya. Lazo yang berusia 17 tahun ditemukan tidak bernyawa didekat sebuah rumah di pinggir jalan, tubuhnya ditemuk

Di Amerika, Kangkung sama ilegalnya seperti ganja

Sebenarnya, aku baru mengetahui hal ini. namun jujur, aku terkejut saat mengetahui fakta bahwa di Amerika , kangkung sama haramnya seperti ganja.   Hah? Yah ekspresiku juga seperti itu. Pasalnya, dikenal dengan tanaman yang friendly dan ramah lingkungan, kangkung menjadi salah satu komoditas yang diperjual belikan di Indonesia . bahkan, di Indonesia sendiri, hampir semua orang mengenalnya. kemampuan hidup bangsa mereka yang nauzubbillah  menambah kepopuleran tanaman ini, coba saja lempar batangnya ke sawah atau sungai, suatu saat nanti, kalian akan terkejut menemukan mereka sudah hidup sejahtera dan berkeluarga. namun walau begitu, di Amerika itu menjadi masalah, sebab, kangkung memiiliki sifat rakus dimana ia membutuhkan lebih banyak air daripada tanaman yang lainnya. dan parahnya lagi, kemampuan hidup mereka menjadi penyebab tertutupnya gorong-gorong dan bahkan membuat perahu tidak bisa melintas. Khususnya di Florida. Setelah searching, aku juga mendapatkan informasi bahwa, di Ameri