Kematian Dina
"Soul! Soul!"
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, itu bukan namaku melainkan nama kakakkku, namun memanggil nama kakakku pada waktu dimana manusia renta masih sholat shubuh di masjid tentu bukanlah perkara main-main.
Aku segera bangkit dan keluar dari rumah, berharap menemukan orang-orang berkumpul sambil membawa kayu untuk memukul maling, namun nyatanya, shubuh membuat orang tergiur, dan perkataan nakake Ijin membuatku bungkam.
"Dina nyembilinan" ucapnya
Aku segera ke kamar kakakku, membangungkannya dan mengatakan hal yang sama. Ia segera bangun dan membuka gerbang depan rumah, lalu bersama kami ke rumah sebelah.
Aku berharap pagi ini aku bisa menyaksikan orang beringas, namun nyatanya, aku terdiam melihat keadaan ini; tidak ada maling yang bisa dipukuli, hanya seorang perempuan kecil pucat yang telah menutup mata, perempuan kecil bernama Dina.
Aku diam, namun sekelilingku penuh dengan lolongan dan buliran air mata yang jatuh pada lantai semen, membasuh debu yang belum tersapu.
Nyembilinan dalam Sasak berarti meninggalkan, dan kata itu sering dikaitkan dengan kematian. Dan kini, perempuan imut itu nyembilinan, perempuan mungil yang kusaksikan sering menuntun adiknya untuk belanja, perempuan yang selalu ceria kini diam, bisu, hanya tinggal raga.
Aku tidak mendengar apapun selain tangisan pada ruangan itu yang tidak terlalu besar, sebuah lolongan menyedihkan terdengar dari ibunya yang menangis "ndekman beliangan boneka sak bise melek......" (aku belum membelikan boneka yang kamu mau) ucapnya sembari memandang Dina yang pucat.
Dipeluknya anak keduanya yang masih balita, memandang anaknya dengan tatapan sendu dan basah "Kakakmu sudah pergi....kamu nggak akan pernah melihat dia lagi" ratapnya sembari memeluk satu-satunya anak yang kini ia miliki.
Tangisan masih bersahutan, aku diam dan tidak tahu harus melakukan apa selain diam, kuperhatikan wajah mereka yang terlalu bersedih, Oh Dina..andai kau tahu, kau lahir membawa bahagia, dan kau pergi membawa duka.
Shubuh itu 29 Agustus dan dunia nampak kelabu, awan masih belum benar-benar beranjak, namun tak perlu awan untuk melahirkan hujan, sebab mata pun bisa.
Lalu di sebuah fase yang membuat aku terkejut, ibu itu terdengar tertawa namun menangis, aku takut sekali sampai menyangka kalau ia gila. Namun aku tetap diam, tidak berani beranjak atau melakukan apa-apa.
"Aku sering memarahi kamu...."
"Buah pear yang kamu sukai....."
Penyesalan demi penyesalan terdengar diantara deru tangisan, namun kematian adalah kematian, kematian tidak pernah bisa ditawar.
Shubuh ini, aku mendapatkan suatu hal, ternyata manusia memiliki fase didalam hidupnya; suatu hal yang dimana mereka merasa kehilangan dan membuat mereka lumpuh, seperti kamu berpijak pada batu diatas sungai kemudian batu itu remuk dan tubuhmu menyelam kedalam air, kau mencoba bernapas namun sesak, meronta-ronta dengan kenyatan disekelilingmu, berteriak. Namun tidak akan pernah ada yang berubah, batu itu telah lenyap, yang bisa kau lakukan adalah membuat pijakan baru, sebuah alasan agar kamu bisa melanjutkan langkahmu.
Dan kamu harus terus melangkah.
mana part 2 nya?
ReplyDeleteSorry, kemarin nggak sempet nulis, makasih atas supportnya yaa😊
Delete